Selasa, 02 April 2013

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN PAHALANYA



Di Antara Fadhilah (Keutamaan) Berbakti Kepada Kedua Orang Tua.

Pertama
Bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Dari Abdullah bin Mas'ud katanya, "Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama dan dicintai Allah ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, Pertama shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah" [Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9]

Dengan demikian jika ingin kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama di antaranya adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).

Kedua
Bahwa ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu HIbban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan.

"Artinya : Dari Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhuma dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)]

Ketiga
Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shahih tersebut. Dengan dasar hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Ibnu Umar.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian mereka berkata pada yang lain, 'Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan'. Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku mengembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang telah larut malam dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anaku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah. "Maka batu yang menutupi pintu gua itupun bergeser" [Hadits Riwayat Bukhari (Fathul Baari 4/449 No. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar Ats Tsalatsah Wat-Tawasul bi Shalihil A'mal]

Ini menunjukkan bahwa perbuatan berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita lakukan, dapat digunakan untuk bertawassul kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan, Insya Allah kesulitan tersebut akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami seseorang saat ini diantaranya karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya.

Kalau kita mengetahui, bagaimana beratnya orang tua kita telah bersusah payah untuk kita, maka perbuatan 'Si Anak' yang 'bergadang' untuk memerah susu tersebut belum sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya sewaktu kecil.

'Si Anak' melakukan pekerjaan tersebut tiap hari dengan tidak ada perasaan bosan dan lelah atau yang lainnya. Bahkan ketika kedua orang tuanya sudah tidur, dia rela menunggu keduanya bangun di pagi hari meskipun anaknya menangis. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan kedua orang tua harus didahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri dalam rangka berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada istri sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khaththab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ceraikan istrimuu" [Hadits Riwayat Abu Dawud No. 5138, Tirimidzi No. 1189 beliau berkata, "Hadits Hasan Shahih"]

Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud yang disampaikan sebelumnya disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Begitu besarnya jasa kedua orang tua kita, sehingga apapun yang kita lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas jasa keduanya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka'bah dan ke mana saja 'Si Ibu' menginginkan, orang tersebut bertanya kepada, "Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?" Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, "Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu" [Shahih Al Adabul Mufrad No.9]


Kamis, 14 Februari 2013

DIATAS SAJADAH CINTA


--------------------------------------------------------
KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa
hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota
Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya
memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati
dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang
memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda.
Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota
Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan
menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat
pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab,
tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala
dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit
terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai
mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah
golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang
merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia
pingsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu
yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik
seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak
terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira.
Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera
yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil
mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

Rabu, 15 Februari 2012

Cinta Rasul


Dari Anas radhiallahu anhu , dari Nabi shallallahu alaihi wasalam , bahwasanya beliau shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan segenap umat manusia." (Muttafaq Alaih) 

Saat ini, di tengah-tengah masyarakat sedang marak berbagai aktivitas yang mengatasnamakan cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam .Kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam adalah perintah agama. Tetapi untuk mengekspresikan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak boleh kita lakukan menurut selera dan hawa nafsu kita sendiri. Sebab jika cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam itu kita ekspresikan secara serampangan tanpa mengindahkan syari'at agama maka bukannya pahala yang kita terima, tetapi malahan menuai dosa.

Dengan mengacu pada hadits shahih di atas, mari kita membahas poin-poin berikut ini: Kewajiban cinta kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam , kenapa harus cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?, apa tanda-tanda cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?, bagaimana agar mencintai Rasul shallallahu alaihi wasalam ?

1. Kewajiban Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam 

Hadits shahih di atas adalah dalil tentang wajibnya mencintai Nabi shallallahu alaihi wasalam dengan kualitas cinta tertinggi. Yakni kecintaan yang benar-benar melekat di hati yang mengalahkan kecintaan kita terhadap apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan meskipun terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita, seperti anak-anak dan ibu bapak kita. Bahkan cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam itu harus pula mengalahkan kecintaan kita terhadap diri kita sendiri.

Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam :"Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri." Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, 'Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri'. Maka Umar berkata kepada beliau, 'Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.' Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, 'Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar." 

Karena itu, barangsiapa yang kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam belum sampai pada tingkat ini maka belumlah sempurna imannya, dan ia belum bisa merasakan manisnya iman hakiki sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallahu anhu , dari Nabi shallallahu alaihi wasalam , beliau bersabda:

"Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, 'Yaitu, kecintaannya pada Allah dan RasulNya lebih dari cintanya kepada selain keduanya......" 

2. Kenapa Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?

Tidak akan mencapai derajat kecintaan kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam secara sempurna kecuali orang yang mengagungkan urusan din (agama)nya, yang keinginan utamanya adalah merealisasikan tujuan hidup, yakni beribadah kepada Allah Ta'ala. Dan selalu mengutamakan akhirat daripada dunia dan perhiasannya.

Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam inilah dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada agama yang lurus. Karena cinta Rasul pula, Allah menyelamatkan kita dari Neraka, serta dengan mengikuti beliau shallallahu alaihi wasalam kita akan mendapatkan keselamatan dan kemenangan di akhirat.

Adapun cinta keluarga, isteri dan anak-anak maka ini adalah jenis cinta duniawi. Sebab cinta itu lahir karena mereka memperoleh kasih sayang dan manfaat materi. Cinta itu akan sirna dengan sendirinya saat datangnya Hari Kiamat. Yakni hari di mana setiap orang berlari dari saudara, ibu, bapak, isteri dan anak-anaknya karena sibuk dengan urusannya sendiri. Dan barangsiapa lebih mengagungkan cinta dan hawa nafsunya kepada isteri, anak-anak dan harta benda duniawi maka cintanya ini akan bisa mengalahkan kecintaannya kepada para ahli agama, utamanya Rasul shallallahu alaihi wasalam .

3. Tanda-tanda Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam

Cinta Nabi shallallahu alaihi wasalam tidaklah berupa kecenderungan sentimentil dan romantisme pada saat-saat khusus, misalnya dengan peringatan-peringatan tertentu. Cinta itu haruslah benar-benar murni dari lubuk hati seorang mukmin dan senantiasa terpatri di hati. Sebab dengan cinta itulah hatinya menjadi hidup, melahirkan amal shalih dan menahan dirinya dari kejahatan dan dosa.

Buah Keimanan


Bila cahaya iman telah meresap dalam sanubari niscaya akan menda-tangkan keunikan-keunikan dalam aqidah, amal dan akhlak. Maka barang siapa yang dikaruniai iman, sungguh ia telah dikaruniai kebaikan yang sangat banyak dan tiada ternilai. Iman akan memberikan pengaruh, buah dan akibat-akibat yang terpuji baik di dunia maupun di akhirat, diantara buah dari keimanan tersebut adalah: 

Kecintaan Allah kepada ahlul iman

Firman Allah:“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan me-rekapun mencintaiNya.” (Al-Maidah: 54)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iman tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang ia cintai dan dipilih dari kalangan manusia.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak dicintai, dan Dia tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang Dia cintai. ”(HR al Hakim dari Ibnu Mas’ud).

Keridhaan Allah kepada ahlul iman

Allah Berfirman Tentang Orang –Orang Mukmin :“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya.Yang demiki-an itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8)

Sesuatu yang paling mulia dan agung didunia adalah keridhaan Allah kepada seorang hamba. Apabila Allah telah meridhai seorang hamba maka Dia akan menjadikanya hidup bahagia, meridhainya dan meneguhkan hatinya diatas jalan yang lurus. Allah juga akan memudahkan kepadanya kebaikan dimanapun berada, kapanpun dan kemanapun ia menuju. Allah meridhai-nya ketika di dunia dan setelah ia meninggalkan dunia.

Ahlul iman memiliki rasa aman yang sempurna

Allah Ta'ala berfirman:“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An'am: 82)

Allah memberitahukan kepada kita bahwa barang siapa yang diberi taufik untuk ikhlas dan tidak syirik maka berarti ia telah mendapatkan dua faedah yaitu rasa aman yang sempurna dan hidayah di dunia dan akhirat. Ada sebagian penafsiran yang menjelaskan bahwa yang dimaksud rasa aman adalah ketika di dunia, ada pula yang menaf-sirkan dengan rasa aman di akhirat. Namun yang jelas bila tauhid seorang hamba telah sempurna maka dia tidak akan takut dengan suatu apapun kecuali hanya kepada Allah.

Diantara buah iman adalah keteguhan hati

Firman Allah dalam surat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

Di antara musibah yang sangat besar adalah berbolak baliknya hati dari ketaatan kepada Allah. Akan tetapi ahlul iman adalah orang-orang yang diberi keteguhan dan keyakinan yang mantap sehingga fitnah apapun tidak akan berdampak negatif kepada mereka, ujian seberat apapun tidak akan menggoyahkan mereka, sebab mereka berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh.

Hidayah dan rahmat bagi orang yang beriman

Allah ber firman: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi pe-tunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun: 11)

Petunjuk dan hidayah Allah adalah sempurna, dalam segala kondisi dan urusan, hidayah yang tak teriringi oleh kesesatan.

Nikmatnya ketaatan dan manis-nya bermunajat

Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Telah merasakan nikmat iman orang yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR Muslim).

Rasulullah memberitahukan bahwa iman memiliki rasa nikmat, maka buah dari keridhaan adalah mencicipi nikmatnya iman. Ibnul qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin berkata: “Hadits ini adalah landasan bagi kedudukan-kedudukan dalam agama, ia mengandung sikap ridha terhadap rubbubiyah dan uluhiyyah Allah Ta'ala, ridha kepada rasul dan tunduk kepadanya, ridha dan berserah diri kepada agamaNya. Barang siapa yang terkumpul dalam dirinya empat perkara diatas maka ia adalah as-shiddiq (benar imannya), kami memohon semoga Allah Yang Maha Agung berkenan menjadikan kita orang-orang yang merasakan nikmatnya bermunajat, manisnya iman dan ketaatan.

Ambisi Akhirat


Dunia dengan berbagai keindahan dan kelezatannya memang sangat menggiurkan dan menjanjikan, maka tak ayal orang yang lemah pondasi imannya akan terseret bahkan menjadi budaknya, semuanya demi dunia. Agar dapat lolos dari jerat ini, maka seorang Muslim hendaklah membekali dirinya dengan keimanan dan ketakwaan serta memompa dirinya agar memiliki ambisi akhirat yang sangat tinggi. 

Karena, siapa saja yang ambisinya akhirat, maka ia akan selalu mengingatnya dalam setiap kondisi di dunia. Anda akan mendapatinya tidak bergembira, tidak bersedih, tidak ridha, tidak marah dan tidak berusaha, kecuali untuk akhirat. Ia akan selalu mengingat akhirat dalam mencari rizki, berjual beli, bekerja,memberi, dan dalam semua urusannya. Siapa saja yang demikian kondisinya, maka Allah subhanahu wata’ala akan menganugerahinya tiga kenikmatan yaitu:

Pertama, Anugerah Persatuan.

Allah subhanahu wata’ala akan menganugerahinya ketenteraman dan ketenangan, menghimpun pikirannya, mengurangi kelupaannya, menyatukan keluarga nya, menambah rasa kasih antara dia dan mereka, memudahkan mereka untuknya, mempersatukan semua kerabatnya, menghindarkannya dari perpecahan dan pemutusan hubungan rahim. Dengan begitu, seluruh dunia bersatu untuknya. Dunia bersatu untuk kepentingannya dan semua apa yang diinginkannya di dalam berbuat ta'at kepada Allah subhanahu wata’ala.

Ke dua, Anugerah Kaya Hati.

Ini merupakan nikmat yang amat besar yang dianugerahkan Allahsubhanahu wata’ala khusus bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, "Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl:97).

Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan keridhaan dan kepuasan hati yang tidak lain adalah kaya diri dan kepuasannya dengan apa yang dianugerahkan melalui doa yang sungguh-sungguh.

Kekayaan bukan segala-galanya, bahkan terkadang ada orang yang dibuat letih oleh hartanya. Sedangkan orang yang menjadikan akhirat sebagai ambisinya, kita dapati dia selalu ridha, puas diri, bahagia, ceria dan baik jiwanya. Ia tidak tamak kepada dunia dan bekerja sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,"Bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah di dalam mencari (rizki)." Yakni, berusahalah dengan usaha yang diterima, yang dibolehkan di dalam mendapatkan dunia. Janganlah seseorang menjadikannya sebagai ambisi yang menyibukkan dirinya yakni ia habiskan semua waktunya untuk dunia.

Ke tiga, Dunia Datang dan Cinta Kepadanya.

Dunia ini memang aneh; bila anda kejar, ia akan lari tetapi bila anda berpaling darinya, ia akan mengejar anda, dan ini sesuatu yang sudah terbukti. Banyak orang shalih menyebut kondisi mereka dengan dunia, "Kami sibukkan diri dengan urusan dien, lalu dunia pun menyongsong kami."

Sebaliknya, siapa saja yang menjadikan dunia sebagai ambisinya dan segala sesuatu ia jadikan demi dunia; seperti ridha, marah, senang, benci, ceria, bicara, mencela dan sebagainya, maka orang yang kondisinya demikian akan diberi hukuman oleh Allah subhanahu wata’ala dengan tiga hukuman yang disegerakan:

Pertama, Mencerai-beraikan Persatuannya.

Ia akan menjadi orang yang hatinya tercerai-berai, pikirannya kacau, banyak cemas terhadap urusan-urusan dunia, sekalipun hanya sepele. Harta, keluarga dan tanggungannya membuatnya terpisah, sekalipun mereka berada di hadapan matanya, sebagai akibat dari mementingkan dunia saja.

Ke dua, Dilanda Kefakiran.

Ia tidak pernah merasa puas, sehingga membuatnya selalu berhajat di balik kesenangan dunia dan perhiasannya. Ini tentu saja membuat nya semakin letih, sedih dan cemas. Ia boros terhadap kesenangan dunia dan hal yang bersifat hura-hura, namun amat bakhil di dalam bersedekah dan berbuat kebajikan.

Ke tiga, Dunia Lari Darinya. 

Ia mencarinya namun dunia menjauhinya. Ia berlari mengejar dan meminum darinya seperti orang yang menimba air di laut untuk diminum; namun setiap diminum, ia semakin merasakan haus dan dahaga. 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu ‘anhu berkata, "Ambisi dunia adalah kegelapan di hati, sedangkan ambisi akhirat adalah cahaya di hati."

Dalam masalah ini, manusia terbagi kepada tiga jenis:

Pertama, Orang-orang yang dikalahkan oleh ambisi akhirat sehingga mereka bekerja untuk dunia menurut kacamata akhirat dan menyadari bahwa dunia hanyalah jembatan yang membawa mereka sampai ke akhirat.

Ke dua, Orang-orang yang dikalahkan oleh cinta dunia hingga akhirat terlupakan oleh mereka, dan ambisi dunia telah menyibukkan hati mereka.

Ke tiga, Orang-orang yang disibukkan oleh dunia dan juga akhirat. Mereka ini adalah para pencampur-aduk urusan, dan betapa banyaknya manusia tipe seperti ini di zaman sekarang. Mereka berada dalam posisi yang tidak aman bahkan dalam bahaya.

Risalah Bisnis dan Perdagangan


Berdagang pada dasarnya merupakan salah satu pekerjaan yang sangat mulia, bahkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan sebagian shahabat beliau adalah para pedagang profesional. Namun di sisi lain Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam juga memperingatkan kita semua, bahwa tempat terburuk yang dibenci Allah adalah pasar. 

Tentu bukanlah pasarnya yang salah, namun penghuninya, penjual dan pembelinya. Berapa banyak pedagang yang sibuk dengan dagangannya sehingga meninggalkan shalat dan dzikrullah, berapa banyak kecurangan, penipuan, riba dan berbagai kejahatan terjadi di pasar. Dan tentunya masih banyak lagi pola dan sistim pasar yang bertabrakan dengan syariat dipraktekkan di sana, yang penting dapat uang bagaimanapun caranya.

Dalam tulisan ini, akan kami ketengahkan beberapa kiat menjadi seorang pedagang muslim sejati, yang senantiasa memperhatikan norma dan hukum dalam berdagang. Semoga bermanfaat, bukan untuk mereka yang menggeluti dunia dagang saja, namun untuk kaum muslimin semua.

Kenalilah Dunia

Dunia -sebagaimana namanya- adalah sesuatu yang hina dan kecil dihadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala, sebagaimana disabdakan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
Artinya, "Dunia ini terlaknat, terlaknat juga apa yang ada di dalam-nya, kecuali dzikrullah dan segala yang mendukungnya, serta orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya." (HR. At Tirmidzi dan berkata, "Hadits Hasan Shahih”).

Dunia, dengan segala isinya, kekayaan alamnya, keindahannya, hartanya, pencakar langit dan istana-nya, mobil-mobil, barang dagangan, gunung, laut, bahkan langit dan bumi-nya tidaklah sebanding dengan sayap nyamuk di hadapan Allah.

Oleh karena itu mencurahkan perhatian secara total dan sepenuhnya untuk dunia adalah kesalahan yang fatal. Seorang mukmin janganlah berbangga-bangga dengan dunia yang diperoleh dan jangan berduka tatkala kehilangannya.

Dunia, sebagaimana diberitahukan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam adalah penjara bagi orang mukmin dan sorganya orang kafir. Orang mukmin di dunia ibarat sedang dipenjara, menjalankan berbagai ketaatan dan ibadah, mengekang dari segala hal yang haram yang hawa nafsu selalu condong kepadanya. Sedangkan orang kafir menganggap hidup di dunia ibarat di sorga, ia turuti segala kemauannya, bersenang-senang, makan enak dan kenyang, tak peduli halal haram, segala cara ditempuh untuk mendapatkan kesenangan.

Orang mukmin selalu ingat bahwa mereka diciptakan di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah, sedangkan orang kafir berpandangan bahwa hidup didunia adalah untuk bersenang-senang saja.

Sungguh mengerikan kalau kita menyadari bahwa kelak kita akan ditanya tentang harta yang kita dapatkan di dunia, dari mana kita peroleh dan ke mana kita belanjakan? Siapkah kita mempertanggung jawab-kan setiap rupiah yang masuk ke kantong kita, setiap suap yang masuk ke dalam perut kita? Sudahkah kita punya jawabannya?

Dunia itu Terbatas

Semua yang kita miliki pasti akan kita tinggalkan, entah hari ini atau besok. Kalau seseorang telah mengumpulkan harta yang begitu banyak dengan cara yang haram atau menumpuknya tanpa mau membelanjakan untuk kebaikan, maka sungguh keru-gian besar atasnya.

Dia capek-capek bekerja, namun ahli waris yang menikmatinya, mereka bergembira dengan harta itu sedangkan dia menderita dengan siksa, mereka tak berperang, namun menikmati harta rampasan. Barulah ketika itu timbul rasa sesal, "Wahai andaikan aku mempersiapkan diri ketika hidup di dunia, andaikan aku berkerja dengan cara yang halal dan mubah, andaikan dulu sebagian hartaku ku gunakan untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin, untuk mem-bantu dakwah, membangun masjid, madrasah, andaikan…dan andaikan ini dan itu. Namun hari itu dia hanya bisa gigit jari, menyesali segala perbuatan-nya ketika masih hidup di dunia, ingin rasanya kembali ke dunia tapi …
(Demikianlah keadaan orang- orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, "Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguh-nya itu adalah perkataan yang diucap-kan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibang-kitan.” (QS. 23: 99-100)

Mumpung Masih Ada Kesempatan

Bersyukur, itulah yang layak kita lakukan karena Allah masih memberi-kan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri. Membuka lembaran baru yang lebih baik dan terang, memperlurus seluruh langkah kehi-dupan. Dan yang penting mengapli-kasikan syukur itu dengan melakukan segala yang diridhai Allah, termasuk menjauhi penghasilan yang haram dan berdagang dengan cara yang dilarang Allah. Beruntung kita ketika dapat memposisikan diri sebagai orang yang telah mati lalu kita memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia dan permohonan kita dikabulkan. Maka apakah kita akan mengulangai seluruh dosa yang kita lakukan ? Apakah tidak selayaknya kita merubah jalan hidup dan perilaku salah kita? Jangan lagi perdagangan melalaikan kita dari ibadah, dzikir dan bersyukur kepada Allah, jangan lagi mengkhianati amanat Allah, dan jangan sampai meninggal-kan tanggung jawab sebagai seorang hamba.

Belajar Dulu Sebelum Berdagang

Seorang yang akan terjun ke dunia dagang maka "wajib ain"atasnya mempelajari fikih perdagangan dan muamalah. Sebab tidak diragukan lagi, bahwa orang yang tidak belajar masalah tersebut kemudian terjun ke dunia dagang dan bisnis, maka sangat mungkin akan terjerumus ke dalam keharaman.

Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata, "Seorang pedagang jika tidak mengetahui hukum, maka akan terjerumus ke dalam riba, tenggelam dan teng-gelam"
Sedangkan Umar bin Khatthab Radhiallaahu anhu mengatakan,"Siapa yang tidak faham masalah agama janganlah sekali-kali berdagang di pasar kami."

Jangan lupa selalu menanyakan kepada para ulama tentang segala permasalahan dagang yang belum jelas agar jangan sampai kita masuk ke area yang tidak hahal. Sebab teori dagang senantiasa berkembang dari hari ke hari, dan para ulama insya Allah akan memberikan wawasan kepada kita tentang mana yang halal dan mana yang haram.

Dasar-Dasar Kesatuan Umat Islam


Sekalipun ummat Islam pada saat ini terpecah belah menjadi berbagai kelompok, aliran, madzhab dan lain-lain, akan tetapi umat Islam memiliki potensi besar untuk bersatu dan menyatukan kembali organ-organ yang terpisah dari tubuhnya, karena pada hakikatnya mereka memiliki prinsip-prinsip yang disepakati, yaitu mereka adalah merupakan umat yang satu, agama mereka sama, yaitu Islam, kitab sucinya sama, dan Nabinyapun sama pula. Inilah dasar-dasar yang disepakati oleh Umat Islam sehingga sebe-narnya tidak sulit bagi Umat Islam untuk bersatu. 

Apabila kita fahami secara mendalam dan kometmen kepada berbagai konsekwensi kesamaan prinsip tersebut, maka kita pasti menjadi satu umat yang utuh, karena pasti bertemu pada titik-titik temu yang sama, yaitu:

1. Kesamaan tujuan hidup, 

yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagaimana firman-Nya:
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzariyat:56). 

Segenap kaum muslimin mengetahui tujuan ini, hanya saja kebanyakan mereka melalaikannya sehingga berpengaruh buruk terhadap sendi-sendi kehidupan mereka. Oleh karena itu kaum muslimin harus mempunyai kebulatan tekad untuk kembali kepada upaya merealisasikan tujuan hidupnya dan konsisten terhadap segala konsekwensinya, agar kebahagiaan dunia dan akhirat yang mereka dambakan dapat direalisasikan. Kebahagiaan di dunia akan terasa bila umat ini telah menjadi satu, ketentraman jiwa dan kelurusan pandangan hidup telah menjadi kenyataan. Akan tetapi apabila tujuan hidup suatu umat telah berbeda antara satu dengan lainnya, maka yang terjadi adalah perpecahan dan pertikaian yang timbul sebagai akibat dari perbedaan jalan dan persaingan untuk mencapai tujuan masing-masing. Maka dari itu Allah Ta'ala telah menegaskan bahwa jalan hidup yang harus ditempuh kaum muslimin untuk mencapai tujuan hidupnya hanya satu. Allah berfirman:

"dan bahwa (yang Kami perintah-kan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." (Al-An'am: 153). 

2. Kesamaan aqidah. 

Sesungguhnya perbedaan Aqidah dan keya-kinan yang terjadi di tubuh umat ini telah menyebabkan tidak mungkin bagi umat ini untuk bersatu dan bekerjasama, maka dari itu harus ada upaya terapi terhadap perbedaan aqidah ini, yaitu dengan mengembalikan para tokoh yang menyimpang (mulhidin) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meluruskan segala bentuk penyimpangan aqidah yang terjadi, agar hati dan jiwa umat menjadi satu. Sebenarnya kaum mulhidin itu berada jauh dari kebangkitan Islam dan sedang tergiur dengan kebudayaan Barat yang berkonspirasi bahkan secara terbuka mengibarkan panji perang terhadap Islam.

Saat ini kaum muslimin mulai menyadari dan mengetahui hakikat kebudayaan dan peradaban Barat serta nilai-nilai negatif dan bahaya yang ada di dalamnya. Kesadaran ini timbul dikalangan mereka, dan mereka mengetahui nilai Dinul Islam ini, dan bahwasanya manusia tidak akan mendapat kebahagiaan di dalam kehidupan ini tanpa berpegang teguh kepada Aqidah dan segala konsekwensinya. Dan tentang munculnya kesadaran Umat Islam ini, Ustadz Muammad Mahmud Al-Shawaf berkata: "Di dalam keyakinan saya bahwa era dimana Islam disebut sebagai keterbelakangan dan kemunduran sudah berlalu dan tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam telah terungkap dan ajaran-ajaran batil mereka menjadi makin jelas ... Islam saat ini sedang menjadi harapan, masjid-masjid dan musolla-musolla makin ramai ... Apabila orang-orang shalih semakin banyak dan jumlah kaum muslimin makin bertambah, maka kemenangan ada di tangan umat Islam".

Kesadaran keberagamaan ini memang mulai tumbuh dikalangan umat Islam, namun ia membutuhkan orang yang mengarahkannya kepada arah yang benar agar dapat menjadi satu landasan untuk menyatukan Ummat dan melenyapkan berbagai isme-isme dan segala bentuk kepercayaan yang menyimpang yang masuk kedalam masyarakat kaum muslimin.

Sedangkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada sebagian aqidah kaum muslimin, apakah itu di dalam tauhid praktis ataupun di dalam tauhid teoritis juga membutuhkan kesungguhan yang tulus dan pena yang arif yang dapat menanggulangi penyimpangan-penyimpangan tersebut dengan hikmah dan mau'izhah hasanah, karena kebanyakan penyimpangan yang terjadi itu bukan karena kesengajaan pelakunya, dan sebenarnya mereka tidak rela dengan penyimpangan tersebut jika argumentasinya pas bagi mereka, maka dari itu, dalam menghadapi mereka harus dan wajib menggunakan pendekatan yang lembut dan dialog dingin. Dan apabila umat Islam telah dapat menyatukan aqidah dan keyakinannya, maka ini merupakan dasar utama bagi kesatuan dan persatuan ummat.

3. Kesamaan pemimpin. 

Kaum muslimin hanya memiliki satu kepemimpinan sepanjang zaman, sekalipun tempat dan madzhab mereka berbeda-beda, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam . Setiap kepemimpinan yang lain yang ada di dalam tubuh Umat ini, maka sebenarnya berjalan diatas legalitas dan prinsip kepemimpinan Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Kenyataan ini akan semakin jelas di dalam benak kaum muslimin bila aqidah dan iman mereka makin jernih dan kuat dan merupakan kenyataan yang ditetapkan oleh Allah dan ditekankan di dalam Al-Qur'an pada beberapa ayatnya agar tidak dilalaikan oleh Umat Islam, seperti di dalam firman-Nya, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulilamr diantara kamu; Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." (Ali Imran :59). Dan firman-Nya, yang artinya: "Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (al-Hasyr :7).

Demikianlah penekanan terhadap kenyataan ini diulang-ulang berpuluh kali di dalam Al-Qur'an, yang apabila sudah mantap dan jelas di dalam hati kaum muslimin, maka sangat mungkin persatuan, kesatuan dan kesatu-paduan barisan mereka terwujudkan.

Jadi, Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam adalah pemimpin, sedakan yang lain adalah pengikut dan pembelanya. Dia dijadikan teladan, kebijakan dan sunnahnya dijadikan pegangan. Umat Islam tidak mungkin bersatu bila tidak mengetahui dan konsisten kepada prinsip dasar tersebut....dan ini pulalah konsekwensi iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , dan jika tidak, maka iman hanyalah omong kosong belaka! Maka setiap kepemimpinan yang berupaya menanggalkan kepe-mimpinan Rasul tersebut atau merendahkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia adalah kepemimpin-an yang keluar dan memusuhi Islam... Bahkan setiap kepemimpinan yang anti atau menyimpang dari tuntunan kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan yang sesat!

4. Kesamaan sumber ajaran. 

Diantara faktor utama bagi perpecahan umat Islam adalah adanya perbedaan sumber ajaran atau sumber hukum yang tidak ada tautannya dengan Islam, bahkan sebenarnya memusuhi aqidah Islam, maka terjadilah jurang pemisah antara sumber hukum dengan realitas, antara berbagai kepemimpian dengan rakyatnya, bahkan antar kepemimpin-an itu sendiri, dan implikasinya menimpa umat Islam. Selagi sumber ajaran dan hukum yang mengatur umat ini tidak sama dan tidak bersumber dari agamanya, maka setiap upaya untuk menyatukan kembali umat ini adalah mimpi belaka! Di dalam masyarakat Islam hanya terdapat satu sumber ajaran dan hukum (perundang-undangan), dan manusia, siapapun dia sama sekali tidak mempunyai hak untuk membuat sumber ajaran dan perundang-undangan. Membuat aturan dan hukum adalah hak Allah semata, dan tidak benar manusia mengambil hukum di luar hukum Allah! Allah menegaskan, yang artinya: "Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak pula bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. (Al-Ahzab: 36).

Jiwa dan tabiat manusia sangat beragam dan berbeda-beda sedangkan untuk mengetahui batasan-batasan islah dan faktor-faktor perusaknya adalah merupan sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah saja; bahkan para ilmuwan Barat telah mengakui ketidak mampuan mereka dalam mengungkap hakikat manusia, sebagaimana dinyatakan oleh ahli kedokteran asal Prancis Karyel!

Apabila manusia tidak mampu untuk mengenal hakikat manusia, maka bagaimana mungkin ia dapat membuat suatu produk hukum yang mengatur kehidupan manusia dan menggiringnya untuk merealisasikan kemanusiaannya!? Oleh karena itu, kembali kepada Syari'at (ajaran, perundang-undangan) Allah adalah merupakan tuntutan dan perkara yang niscaya. Niscaya karena diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , dan niscaya karena manusia tidak memiliki kemampuan membuat hukum dan peraturan yang tepat lagi sesuai! Dan Niscaya, karena ummat tidak mungkin bersatu bila undang-undang atau aturan hidupnya berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan adanya kesatuan sumber hukum dan undang-undang, agar pandangan hidup, aturan main dan idiologinya menjadi satu, yang pada gilirannya kesatuan dan persataun yang didambakan dapat terealisasikan.