Jumat, 16 Desember 2011

Agar Tak Menjadi Debu




KotaSantri.com: Ada yang menangis tertahan, ketika daurah bekal pernikahan itu berlangsung. "Saya jenuh, berkali-kali mengikuti daurah dengan tema yang sama, namun saya masih saja sendirian. Sepertinya harapan wujudnya keluarga Islami yang indah dan mempesona itu hanya sebuah utopia. Mimpi indah yang pamit pergi saat subuh datang. Pedih, sebab embun pagi pun hampir selalu berkabut," ujarnya pelan.

Ukhti kita ini tidak sendirian, ratusan bahkan mungkin ribuan muslimah "baik-baik" yang lain, berjajar di antrian panjang menunggu dipinang. Bukan soal layak atau tidaknya menikah, sebab mereka sangat layak. Berwawasan, berkepribadian, punya komitmen, dan tidak menuntut banyak. Dalam banyak hal mereka sungguh-sungguh telah siap lahir batin. Juga bukan soal laku atau tidak sebab mereka bukan barang dagangan.

Meski sama pada tingkat penampakan yang sama, sama-sama tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang-orang yang menolak menikah dengan orang yang belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah menentang fitrah dan membuat bid'ah yang dibenci Allah dan Rasul-nya, sedang yang lain memang sedang "diuji" imannya.

Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dalam arti yang sebenarnya, bukan sekedar kawin dengan lawan jenis. Menikah untuk membangun pondasi ibadah yang lebih kokoh, dan mendapat ridha Allah. Dan itu hanya mungkin bila suami-suami mereka adalah hamba-hamba yang "sampai" pemahaman maupun amalnya pada tingkatan "qawwam".

Sebab menikah menjadi pertaruhan dan mereka tidak ingin menghancurkan benteng pertahanan mereka sendiri. Menikah haruslah menjadikan segala ibadah lebih baik, kualitas dan kuantitasnya. Bukan malah menjadi awal kehancuran akidah dan ibadah mereka.

Dan ketika lelaki seperti ini menjadi makhluk langka atau ada dalam jumlah terbatas. Bersusah payah mereka mempertahankan huznuzhan mereka kepada Allah di tengah pandangan sinis dan melecehkan. Mereka bukannya jual mahal atau mempersulit diri namun tidak mungkin rasanya menukar nikmat iman kepada laki-laki tanpa kriteria, tanpa konsep hidup yang jelas. Bagaimana pun mereka tidak ingin menghargai murah keyakinan mereka.

Ini adalah pertempuran melawan gejolak nafsu dan keinginan "dimiliki". Pertempuran melawan nurani yang sering menjerit atau naluri menjadi ibu yang memang milik mereka. Mereka berjuang sendiri sebab orang lain tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin semua pengorbanan ini menjadi abu, tak menyisakan kebaikan di sisi Allah. Alangkah beratnya!

Dalam kesendirian, mereka adalah pahlawan, dalam renungan dan tangisan, mereka adalah manusia perkasa. Jadi kalau tidak mampu menikahi mereka, meski untuk menjadi istri kedua, tolong hargai prinsip dan kemuliaan mereka. Doakan keistiqomahan mereka, atau malah pemahaman kita yang belum sampai? Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar