KotaSantri.com: Ada
yang menangis tertahan, ketika daurah bekal pernikahan itu berlangsung.
"Saya jenuh, berkali-kali mengikuti daurah dengan tema yang sama, namun
saya masih saja sendirian. Sepertinya harapan wujudnya keluarga Islami yang
indah dan mempesona itu hanya sebuah utopia. Mimpi indah yang pamit pergi saat
subuh datang. Pedih, sebab embun pagi pun hampir selalu berkabut," ujarnya
pelan.
Ukhti kita ini tidak sendirian, ratusan bahkan mungkin
ribuan muslimah "baik-baik" yang lain, berjajar di antrian panjang
menunggu dipinang. Bukan soal layak atau tidaknya menikah, sebab mereka sangat
layak. Berwawasan, berkepribadian, punya komitmen, dan tidak menuntut banyak.
Dalam banyak hal mereka sungguh-sungguh telah siap lahir batin. Juga bukan soal
laku atau tidak sebab mereka bukan barang dagangan.
Meski sama pada tingkat penampakan yang sama, sama-sama
tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang-orang yang menolak
menikah dengan orang yang belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah
menentang fitrah dan membuat bid'ah yang dibenci Allah dan Rasul-nya, sedang
yang lain memang sedang "diuji" imannya.
Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dalam
arti yang sebenarnya, bukan sekedar kawin dengan lawan jenis. Menikah untuk
membangun pondasi ibadah yang lebih kokoh, dan mendapat ridha Allah. Dan itu
hanya mungkin bila suami-suami mereka adalah hamba-hamba yang
"sampai" pemahaman maupun amalnya pada tingkatan "qawwam".
Sebab menikah menjadi pertaruhan dan mereka tidak ingin
menghancurkan benteng pertahanan mereka sendiri. Menikah haruslah menjadikan
segala ibadah lebih baik, kualitas dan kuantitasnya. Bukan malah menjadi awal
kehancuran akidah dan ibadah mereka.
Dan ketika lelaki seperti ini menjadi makhluk langka atau
ada dalam jumlah terbatas. Bersusah payah mereka mempertahankan huznuzhan
mereka kepada Allah di tengah pandangan sinis dan melecehkan. Mereka bukannya
jual mahal atau mempersulit diri namun tidak mungkin rasanya menukar nikmat
iman kepada laki-laki tanpa kriteria, tanpa konsep hidup yang jelas. Bagaimana
pun mereka tidak ingin menghargai murah keyakinan mereka.
Ini adalah pertempuran melawan gejolak nafsu dan keinginan
"dimiliki". Pertempuran melawan nurani yang sering menjerit atau naluri
menjadi ibu yang memang milik mereka. Mereka berjuang sendiri sebab orang lain
tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin
semua pengorbanan ini menjadi abu, tak menyisakan kebaikan di sisi Allah.
Alangkah beratnya!
Dalam kesendirian, mereka adalah pahlawan, dalam renungan
dan tangisan, mereka adalah manusia perkasa. Jadi kalau tidak mampu menikahi
mereka, meski untuk menjadi istri kedua, tolong hargai prinsip dan kemuliaan
mereka. Doakan keistiqomahan mereka, atau malah pemahaman kita yang belum
sampai? Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar